Namun perempuan yang berwajah ayu itu, gara-gara asap sepeda motor di depannya yang menyengat hidungnya, akhirnya Ia memaksakan diri menerobos jalan, meskipun lampu merah masih menyala.
Hampir saja Ia tertabrak oleh pengendaran lain yang berlawanan arah. Nasib untung dirinyapun tidak menjadi celaka, seperti tertabrak oleh pengendara lain. Tetapi celakanya menjadi cerita tersendiri, Ia kedapatan oleh pengamanan polisi lalu lintas.
Lagi-lagi dalam hatinya perempuan yang berwajah kemayu itu, mengira nasib peraduan untung, untuk kedua kali menghampirinya. Ia tersenyum menatap sang polisi, sebab polisi yang menyergapnya, tidak lain adalah suaminya sendiri.
Suaminya ternyata tidak kenal kompromi, walau perempuan di hadapannya adalah istri yang amat dicintainya. Bersikukuh sang polisi, tetap mengeluarkan surat tilang. Dan sang istripun menampakan wajah benci terhadap suaminya yang bertugas sebagai polisi. Ia sempat memukul-mukul tangan suaminya, ngambek, lalu memacu laju kendaraannya. Meninggalkan suaminya seorang diri, berdiri mematung, sedih, dan sedang bingung. Mau diapalagi, memang sudah menjadi kewajibannya sebagai pengaman lalu lintas.
Sikap ngambek istri polisi itu, nampaknya sampai terbawa ke rumah. Dan di saat Suaminya yang berprofesi sebagai polisi, meniscayakan pulang ke rumah, nanti pada malam hari. Rumahnya tiada terkunci, dan didapati istrinya sudah tertidur pulas.
Ketika lapar sedang melanda sang polisi, ia kemudian bergegas menuju meja makan. Dan alangkah kejam istrinya kemudian, suami yang sudah bercucur keringat mencari nafkah buat istri, namun tak ada hidangan makananan sedikitpun yang telah disediakannya pada malam itu. Sang polisi tetap tegar, tersenyum, sedang menerawang pada peristiwa di siang hari tadi.
Sekuntum kembang mawar merah kemudian di ambil dari kotak motornya, bunga yang akan dihadiahkan untuk istrinya.
Tak menunggu watu lama, Ia lalu menyimpan kembang pertanda lambang cinta itu, di samping tempat tidur istrinya. Di sana, tertempel secarik kertas dengan kalimat permintaan maaf: “MA, MAAF TADI PAPA TILANG. PAPA HARAP MAMA MENGERTI. PAPA CINTA MAMA.”
Kisah di atas merupakan cerita nyata yang kemudian di film-kan dalam durasi yang amat pendek (4 menit 10 detik). Dalam film yang berjudul “Kisah Nyata Polisi Menilang Istrinya” karya Forum Film Jambi.
Walaupun durasi film tersebut tergolong singkat, tetapi cerita yang dinukil dari kisah nyata seorang Polantas Polres Gresik Aiptu Jaelani itu. Dari kisahnya yang pernah menilang anggota KPK hingga istri sendiri. Adalah cukup menggugah dan mengaduk ruah rasa kita.
Bahkan anda mungkin tidak dapat menahan leleh air mata, saat membuka, menyaksikan, dan menyimak video tersebut di youtobe. Betapa melodramatiknya seorang polisi, di satu sisi Ia amat mencintai pun menyayangi istrinya, namun di sisi lain juga harus amanah atas tugas yang diembannya sebagai penegak hukum, agar selalu mengutamakan “equal” bagi siapapun.
Bahwa teks, makna dan simbolisasi cinta, bukan pada fisik dan kemolekan wajah sang istri. Lebih dari pada itu semua, cinta lebih penting untuk dimanifestasikan dalam mencintai kebenaran dan keadilan hakiki.
Hukum Vs Cinta
Setelah menyaksikan video tersebut, tiba-tiba saya langsung teringat dengan teori HC Kelman, tokoh sosiologi hukum berkebangsaan Amerika. Pernah mengungkapkan “kalau ada orang taat pada aturan hukum disebabkan faktor kedekatannya dengan penegak hukum.” Faktor ketaatan demikian disebut identification. (Teori HC Kelmaan liat di sini: Efektivitas Hukum)
Andai saja sang istri dalam cerita di atas ikut dengan teori yang dikemukakan oleh Kelman, maka dipastikan suaminya yang berprofesi sebagai polisi tidak akan menilangnya. Alur ceritanya pun tidak mungkin akan berakhir sedramatik itu.
Tetapi mari kita melupakan saja teorinya Kelman. Sebab teorinya nampak tidak dapat mewadahi kisah Aiptu Jailani di atas. Teori ketaatan hukum yang lebih cocok, mari kita bangun bersama. Kalau sejatinya kesadaran untuk taat pada hukum, terdapat pula ruang “imaginer” yang dapat mendeskripsikannya. Yaitu, biarkanlah hukum dan cinta memadu kasih dalam bilik-bilik keluarga kita.
Bahwa hukum dan cinta bukanlah perilaku subjektif untuk menyembunyikan kesalahan, kejahatan, dan segala tindak keji lainnya. Aiptu Jailani tidaklah memungkiri kalau sangat mencintai istrinya, tetapi cintanya hakiki telah menembus dimensi-dimensi kebenaran. Ia mengajarkan kepada istrinya, kalau cinta yang berbalas pada peraduan jiwa, adalah memadu kasih antara hukum dan cinta untuk menjunjung nilai-nilai keadilan.
Itulah sekelumit potret kehidupan, seyogianya menjadi pelajaran bagi kita bersama. Kalau di dalam keluarga menjadi awal mulanya: hukum, etika, moral, kebenaran, hingga keadilan harus menjadi objek yang paling pantas untuk dicintai. Maka dalam konteks lain, seoang istri misalnya, wajib mengingatkan suaminya yang berprofesi sebagai pejabat negara, agar tidak melakukan korupsi, sebab cinta yang utama diatara mereka, adalah hukum yang selalu memadu kasih pada keadilan.
Mari menebarkan keadilan atas nama cinta kasih pada kebenaran, karena dari keluarga sendirilah, awal untuk membangun bangsa ini. Untuk bangkit dari keterpurukan hukum yang telah merusak seluruh sendi-sendi kehidupan kita.* (Kompasia)
0 komentar:
Posting Komentar